Optimalisasi Peran dan Ketokohan Perempuan untuk Atasi Problematika Bangsa
Foto: pks.id |
Oleh: Pertapa Sari, S.S
Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Menurut sensus BPS tahun 2020 yang dilakukan hingga bulan September 2020, tercatat jumlah penduduk Indonesia mencapai 270.203.911 jiwa. Jumlah tersebut sangatlah besar dan apabila dimanfaatkan dengan baik dan efektif, akan mampu menjadi aset yang besar bagi pembangunan nasional dan merupakan sumber daya pembangunan yang potensial.
Berdasarkan hal tersebut, optimalisasi penduduk sebagai salah satu upaya dalam pembangunan SDM (Sumber Daya Manusia) harus mempertimbangkan berbagai langkah guna meningkatkan kualitas kehidupan, baik perempuan maupun laki-laki agar sama-sama dapat memperoleh kesempatan dan berperan optimal dalam pembangunan dan pencapaian kualitas bangsa yang lebih maju dan sejahtera (Said Agil Husin al Munawar, 2005: 105).
Seiring dengan hal tersebut, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) mengarahkan pemberdayaan perempuan dalam dua penekanan. Pertama, meningkatkan kedudukan dan peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang mampu mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Kedua, meningkatkan kualitas dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai persatuan dan kesatuan, serta nilai historis dari perjuangan kaum perempuan Indonesia di masa lalu untuk di lanjutkan demi tercapainya kesejahteraan keluarga dan masyarakat. (Ilhamudin, 2017)
Disebutkan dalam al-Qur’an bahwa laki-laki adalah qawwam (pemimpin) bagi kaum wanita sebagaimana yang tertulis dalam QS. Al-Nisa’ ayat 34, yang artinya: “Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan…”
Sementara QS al-Hujurat ayat 13 menyebutkan bahwa (yang artinya): "Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal satu sama lain, Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu…”
Dari dua ayat di atas dapat kita lihat bahwa QS An-Nisa: 34 menjadi dasar utama dalam menjustifikasi otoritas bagi kaum laki-laki sebagai kelompok superior dan mayoritas. Sementara QS Al-Hujurat: 13 menegaskan kesetaraan hubungan dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Berkaitan dengan hal ini Al-Syathibi berpendapat bahwa ayat yang berkaitan dengan kesetaraan manusia bersifat pasti, tetap dan berlaku universal. Sementara ayat kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan merupakan berlaku sesuai konteks. Berpijak dari sinilah perhatian terhadap isu gender muncul dan perlu menjadi perhatian.
Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk terbanyak di ASEAN, menaruh perhatian yang besar berkaitan dengan isu gender ini. Indonesia telah memulai pemberdayaan perempuan sejak zaman dahulu hingga di masa sekarang ini. Hingga saat ini telah banyak perempuan di Indonesia yang memperoleh haknya sesuai dengan apa yang diamanatkan UUD 1945.
Bercermin pada masa lalu, yaitu pada masa perjuangan kemerdekaan, tercatat dalam sejarah perjuangan masyarakat Indonesia khususnya perempuan Indonesia seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Cristina Marta Tiahahu , Dewi Sartika, Nyi Ageng Serang, Raden Ajeng Kartini dan masih banyak lagi. Di antara tokoh-tokoh perjuangan perempuan Indonesia tersebut, RA Kartini dikenal sebagai tokoh feminis dan pendidikan. Beliau merupakan simbol emansipasi wanita di Indonesia.
Kumpulan surat Kartini kepada sahabat-sahabatnya terangkum dalam buku yang berjudul Door Duisternis toot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Kumpulan surat-surat tersebut menggambarkan mengenai perjuangan Kartini untuk memberantas buta huruf yang ada di nusantara. Penerbitan surat-surat tersebut telah menarik perhatian pemerintah Belanda, pemikirannya mulai mengubah pandangan Pemerintah Belanda tentang perempuan Jawa.
Kisah perjuangan RA Kartini di atas, telah menjadi salah satu bukti nyata bahwa feminisme (kesetaraan gender) telah masuk di Indonesia sejak masa perjuangan kemerdekaan dan hingga saat ini masih tetap di jaga oleh rakyat Indonesia sebagai salah satu hak dasar yang di miliki oleh setiap warga negaranya.
Begitu banyak harapan disematkan pada perempuan Indonesia agar dapat berperan lebih aktif ditengah masyarakat, namun pada pelaksanaannya justru masih ada juga anggapan masyarakat yang tidak menginginkan perempuan aktif di tengah masyarakat tapi cukup dalam lingkup keluarga saja. Pertentangan-pertentangan itulah yang membuat peran perempuan dalam masyarakat masih harus terus ditingkatkan dan meminta partisipasi setiap elemen masyarakat untuk mensosialisasikannya.
Peran perempuan dapat dianalisa dari perspektif posisi mereka dalam berurusan dengan pekerjaan produktif tidak langsung (domestik) dan pekerjaan produktif langsung (publik), yaitu sebagai berikut;
1. Peran tradisi menempatkan perempuan dalam fungsi reproduksi (mengurus rumahtangga, melahirkan dan mengasuh anak, serta mengayomi suami). Hidupnya 100% untuk keluarga. Pembagian kerja sangat jelas, yaitu perempuan di rumah dan lelaki di luar rumah. Bahkan ada pameo Jawa yang menyematkan bahwa tugas perempuan itu ada di 3 ‘ur” yaitu dapur, sumur, kasur.
2. Peran transisi dimana mempolakan peran tradisi lebih utama dari peran yang lain. Pembagian tugas mengikuti aspirasi gender, tetapi eksistensi mempertahankan keharmonisan dan urusan rumah tangga tetap menjadi tanggung jawab perempuan.
3. Dwiperan memposisikan perempuan dalam kehidupan dua dunia, yaitu menempatkan peran domestik dan publik dalam posisi sama penting. Pada peran ini dukungan moral suami pemicu ketegaran atau sebaliknya keengganan suami akan memicu keresahan atau bahkan menimbulkan konflik terbuka atau terpendam dalam diri kaum perempuan.
4. Peran egalitarian menyita waktu dan perhatian perempuan untuk kegiatan di luar. Dukungan moral dan tingkat kepedulian lelaki sangat hakiki untuk menghindari konflik kepentingan pemilahan dan pendistribusian peranan. Jika tidak, yang terjadi adalah masing-masing akan saling berargumentasi untuk mencari pembenaran atau menumbuhkan ketidaknyamanan suasana kehidupan berkeluarga.
5. Peran kontemporer adalah dampak pilihan perempuan untuk mandiri dalam kesendirian. Di Indonesia khususnya, jumlahnya belum banyak akan tetapi benturan demi benturan dari dominasi lelaki atas perempuan yang belum terlalu peduli pada kepentingan perempuan mungkin akan meningkatkan populasinya. (Aida Vitalaya, 2010 :145).
Dan pada masa sekarang ini, juga banyak bermunculan tokoh-tokoh perempuan Indonesia yang berkiprah dan memenuhi perannya di bidang masing-masing. Kita mengenal Elly Risman Musa sebagai ahli psikologi spesialis parenting, Marsinah pahlawan kaum buruh, Martha Tilaar pengusaha kosmetik dan jamu, Jajang C Noor sutradara film Indonesia, Herlini Amran politisi PKS anggota DPR RI, Najwa Shihab jurnalis, Siti Fadhilah ahli kesehatan, Lilis Handayani pemanah Indonesia, Djenar Maesa Ayu penulis, dan masih banyak lagi tokoh perempuan masa kini Indonesia. Ini menunjukkan peran- peran perempuan semakin diakui di ranah publik. Bahkan tak sedikit perempuan-perempuan Indonesia yang mulai berkiprah di dunia internasional.
Saat ini banyak sekali permasalahan besar yang dialami oleh bangsa ini dari masalah menghadapi pandemic covid-19, masalah pendidikan di berbagai level sekolah, masalah ekonomi, serta masalah-masalah lain. Di tengah-tengah menjamurnya problematika bangsa yang muncul di berbagai lini kehidupan tersebut, peran-peran perempuan inilah yang sangat diharapkan akan mampu membantu menyelesaikan problematika bangsa.