Selamat Datang, Marcell! Beragama Dengan Sepenuh Pilihan Sadar dan Cinta
Marcell Siahaan (foto: kompas.tv) |
Penulis: Vida Robi'ah Al-Adawiyah
Kisah muallaf-nya Marcell Siahaan berseliweran di timeline saya sejak kemarin. Entah, boleh dikata kebetulan ya sejak pertama saya liat si Marcel jaman kribo dulu, dan dia jadi Buddhis, saya get feeling aja "Ni orang keknya bakal masuk Islam entah kapan." Saya pun telah melihat podcast di channel Tetanggaku milik Daniel itu beberapa hari lalu. Barakallahu, Marcell!
Kisah perjalanan spiritual, dalam hal ini seorang muallaf, memang selalu menarik dan membuat kita yang muslim 'sejak orok' ini tak jarang ikut menghayatinya dan auto merasakan muallaf ini bagai saudara kita yang kembali pulang. Iya gak sih? Itulah mengapa kalau orang masuk Islam, di luar negeri sapaan hangatnya 'Welcome back to Islam, Bro/Sist' ... ya, karena kita yakin setiap bayi lahir dalam Fitrah iman Islam. Orangtua/lingkungannya lah yang membentuknya jadi Yahudi, Nashrani dan Majusi, begitu kan haditsnya?
Trus bukankah kita udah muslim duluan? Kenapa kita jarang menemukan titik ketakjuban kita pada agama yang kita anut sejak lahir ini? Mengapa kita justru lebih sering tersentuh dengan kisah kisah masuk islamnya orang lain? Gak salah juga, itu sebuah reminder buat kita untuk bersyukur
Itu sah-sah saja, izinkan saya menggubah sebuah peribahasa "hidayah di sebrang pulau nampak, hidayah di pelupuk mata tak tampak". Kita sering lupa betapa berharganya terlahir dalam keluarga muslim, hidup dengan tatanan agama ini. bahkan masih ada diantara kita yang mengidap 'Islamic inveriority', merasa insecure dengan aqidahnya.
Kisah kisah muallaf nya saudara saudara kita mengajarkan betapa 'mahal' dan bernilainya perjalanan menemukan satu muara kepasrahan dan makna kebertuhanan.
Ucapan Marcell, "Allah itu jamal dan jamil dalam satu waktu, cinta dan keagungan yang elo temukan dalam waktu yang bersamaan...," membuat saya saya berdecak, tsaah! Begini banget yak, kalau seniman, musisi, penghayat keindahan memaknai rasa kebertuhanannya.
Beragama adalah sebuah identitas keimanan yang dalam Islam memiliki konsekuensi besar dalam kehidupan seseorang. Islam bukan sekedar agama ritual. Memilih dengan sadar Islam sebagai ad-diin, berarti memahaminya sebagai sistem hidup, penuntun selera, perubah mindset jahiliah kepada hidayah, dari gelap menuju cahaya. Di sinilah perlunya 'circle', lingkungan, bi'ah, komunitas dan berjama'ah yang InsyaAllah akan turut menjaga stamina spiritual kita.
Pilihan sadar ini tentu semakin mantap saat kita telah merasakan cinta pada Pemilik Cinta, jatuh cinta pada Rasul Pembawa Risalah-Nya, sehingga kita siap dalam kesadaran untuk melakukan perintah Allah dan Rasulnya.
Ya ya ya... hidayah adalah sensasi cinta dan pilihan sadar yang dahsyat. Yang mengubah budak menjadi orang merdeka, yang membuat Bilal tak merasakan tindasan batu ditengah teriknya sahara. Kesadaran dan cinta inilah yang mestinya kita pupuk dalam jiwa kita, anak-anak kita, bukan sebagai bentuk ketakutan-ketakutan dan ancaman, tapi bahwa Allah Maha Cinta dan lebih dekat ampunan-Nya. Allah Maha Mesra dan perjalanan untuk menemukan-Nya begitu unik dan tak sama setiap manusia. Ia dekat,sedekat urat nadi kita, disitulah hidayah harus kita cari, agar kita sadar: Dia sangaaat DEKAT.
Kesadaran beragama dan cinta inilah yang menawan dan menaklukkan hati Hindun, seorang tokoh perempuan Quraisy paling membenci risalah Rasulullah, yang demi dendam membaranya atas peristiwa Badar, ia menyuruh seorang budak bernama Wahsyi untuk membunuh Hamzah bin Abdul Muthallib, paman tercinta Rasulullah dan mengambil jantungnya. Pedih dan jeri saya membayangkan sedihnya baginda nabi kala itu.
Namun ... saat hidayah menyapanya lembut, ia mengatakan "Siapa bilang Hindun masuk Islam? Bukan aku yang masuk Islam, tapi Islamlah yang masuk kedalam diriku..."
Indah. Karena jika hanya kita yang 'menjadi Islam' mungkin kita bisa kehilangan hidayah atau mungkin hanya 'Islam KTP' dan tergelincir pada kemunafikan, naudzubillah. Tapi jika Islamlah yang telah memasuki jiwa, pikir, tutur, selera, gaya hidup kita, maka... tak pernah lagi kita takut dan berputus asa, inverior dan insecure 😊. Kita dengan sadar dan suka cita berkorban dan berjuang dengan dan untuknya.
Saya ingat Marcell mengatakan kurang lebih begini, "Gue nyaman, gue senang, gue yakin bahwa segala sesuatu itu ada titiknya. Gue jadi merasa bisa berbuat banyak hal," semoga gak salah denger ngutipnya, ya tapi gitulah kurleb-nya haha. Begitulah, hidayah,beragama dengan ridho dan sadar serta penuh cinta akan memberi energi positif yang menguar, melingkar mekar memberi manfaat untuk diri dan sekitar.
Mungkin....Ramadhan yang hampir tiba menjadi momentum menghisab diri, menemukan kesadaran bahwa kita cinta pada jalan ini, dan mensyukuri terpeluk oleh agama rahmatalil 'alamin ini. Selamat Malam...semoga Allah jaga kita hidup dan mati kita di jalan-Nya.
Tentang Penulis:
Vida Robi'ah Al-Adawiyah adalah ketua biro Peningkatan Kapasitas Kader Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga (BPKK) DPD PKS Kota Surakarta. Sehari-hari aktif menulis dan mengedukasi berbagai kalangan lewat kelas-kelas pranikah dan parenting di Benih Cendekia.